Home » » Metode dan Ajaran Dzikir TQN

Metode dan Ajaran Dzikir TQN

Written By Suryalaya37 on Rabu, 04 Desember 2013 | 4.12.13

Metode Dzikir/zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. 

Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah. Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya.

Metode dzikir Jahar  (Laa Ilaha IllaLLAH),  untuk melakukan  latihan ini sebelumnya  harus ditalqin dzikir  terlebih dahulu  oleh  seorang mursyid atau  wakil/pembantunya  yang diberikan amanat  untuk melakukan  prosesi talqin.
Metode dzikir Jahar
 (Laa Ilaha IllaLLAH),
untuk 
melakukan
 latihan ini sebelumnya
 harus ditalqin dzikir 

terlebih dahulu  oleh
seorang mursyid atau

 wakil/pembantunya
yang diberikan amanat
untuk melakukan
 prosesi talqin.
Zikir jahar la ilaha illa Allah dilakukan dengan membayangkan semacam garis imajiner yang melewati lathaif. Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala, sehingga dari luar tampak mereka berdzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif.

Gerakan simbolik dari dzikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. DZikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah saja. Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg utama adalah qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq).  Pada Tarekat Naqsabandiyah dan tarekat cabang-cabangnya, termasuk TQN, ada satu lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai, yakni kullu jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan (dimensi ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berdzikir dan “menjadi” dzikir itu sendiri. Itu adalah saat layar kesadaran menjadi tanpa tepi dan siap menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari Allah.

daiberbagai sumber~

0 comment :

Posting Komentar