Pondok Pesantren Assalafi Al
Fithrah adalah lembaga pendidikan Islam yang lahir, tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat, yang salah satu tujuannya adalah melestarikan dan
mengembangkan akhlaqul karimah dan nilai-nilai amaliah salafushsholeh.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era
globalisasi dan informasi, serta guna memberikan landasan yang kuat dengan
didikan yang akhlaqul karimah, maka dalam hidup dan kehidupan ini, pendidikan
-khususnya agama Islam- dan tatanan hidup yang akhlaqul karimah sangat
diperlukan untuk membentengi dan melindungi diri, keluarga khususnya anak -
anak.
Anak sebagai generasi penerus, dalam perkembangannya sangat membutuhkan
pendidikan agama dan akhlaqul karimah sejak dini, guna melindungi diri dan
kehidupannya, agar tidak terseret dalam arus globalisasi dan informasi yang
menyesatkan.
Dalam rangka melindungi, membentengi dan memberikan tuntunan dan didikan agama
Islam dan tata laku akhlaqul karimah, maka pada tahun 1985, Romo KH.Achmad Asrori
El Ishaqy ra. merintis berdirinya Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, yang
berlokasi di jalan Kedinding Lor 99 Surabaya.
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqimerupakan
putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah
Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota
Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren
Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama
Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman
masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal
sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas;
cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di
belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai
Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori
meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia
yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang
menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat
menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat
meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji.
Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut
namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren
Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang
kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab
kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya
adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik
karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial
manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara,
majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni
keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah
menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin
menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit
luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini
diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di
Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya
yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia
dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia
bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang
istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang
sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di
kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai
Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia
belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di
Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan
kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan
saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib,
yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’
Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian
luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar
semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah
rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai
Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang
lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan
Naqsabandiyah
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi
merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren
Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan
Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok
Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman
Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri,
karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi
merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren
Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan
Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren
Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama
Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman
masih keturunan Sunan Giri.
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori
memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke
38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada
Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Kiai Utsman berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi –
Muhammad Utsman –
Surati –
Abdullah –
Mbah Deso –
Mbah Jarangan –
Ki Ageng Mas
–
Ki Panembahan Bagus –
Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana –
Panembahan Agung Sido
Mergi –
Pangeran Kawis Guo –
Fadlullah Sido Sunan Prapen –
Ali Sumodiro –
Muhammad
Ainul Yaqin Sunan Giri –
Maulana Ishaq –
Ibrahim Al Akbar –
Ali Nurul Alam –
Barokat Zainul Alam –
Jamaluddin Al Akbar Al Husain –
Ahmad Syah Jalalul Amri –
Abdullah Khan –
Abdul Malik –
Alawi –
Muhammad Shohib Mirbath –
Ali Kholi’
Qasam –
Alawi – Muhammad –
Alawi –
Ubaidillah –
Ahmad Al Muhajir –
Isa An Naqib
Ar Rumi –
Muhammad An Naqib –
Ali Al Uraidli –
Ja’far As Shodiq –
Muhammad Al
Baqir –
Ali Zainal Abidin –
Hussain Bin Ali –
Ali Bin Abi Thalib / Fathimah
Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah
mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat
Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran
paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia
dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur.
Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai
Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori
berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah
salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso,
Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki
Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai
Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di
kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai
sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan
Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan
kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan
tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai
Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang
amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding
Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan
membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit
demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya
mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup
ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan
sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang
mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik
dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5
hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan
santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak
pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang
belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses
pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori,
keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di
samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat
ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia
lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat
hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para
pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada
mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput
media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian,
sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat
menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk
saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan
layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk
tamu.
Tanda tanda menjadi panutan
sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke
berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori
muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki
geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya
rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri
kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari
kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia
yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang
menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat
menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat
meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji.
Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut
namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah
di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum
pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia
juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah
pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena
sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas
politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah
berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang
membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka
bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa
membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan
banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar
luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan
kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu
meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia
berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang
mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang
istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang
sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di
kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai
Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia
belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di
Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan
kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan
saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib,
yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’
Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian
luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar
semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah
rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai
Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang
lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Kiai Asrori meninggal sekitar pukul 02.00. Selasa (18/08/2009)
Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai 16 Agustus 2009, sempat menjalani perawatan
medis di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Kiai Asrori meninggalkan seorang
istri, Hj Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul
Yaqien, Nurul Yaqien, dan Siela Assabarina.
Ternyata dunia kemursyidan itu sangat politis ya, berebut pengaruh. penuh pengkultusan
BalasHapus