A. Pengertian Murid
Istilah murid di dalam thariqah adalah sebutan yang
diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang
guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thariqahnya.
Atau dengan kata lain orang yang telah berbai’at kepada seorang guru mursyid
untuk mengamalkan wirid thariqah. Dalam TQN sebutan untuk para murid adalah
”ikhwan”.
Di dalam dunia thariqah hubungan seorang murid dengan guru
mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena
hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini, tetapi akan terus
berlanjut sampai di akherat kelak. Bahkan di kalangan ahli thariqah ada
keyakinan bahwa seorang mursyid mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
menyelamatkan muridnya besok di kehidupan akherat. Oleh karena itu, seseorang
yang berkehendak menjadi murid thariqah, hendaknya tidak sembarangan memilih
guru mursyid. Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang akan berbai’at
kepada seorang mursyid thariqah, urrtuk terlebih dahulu beristikharah tentang
pilihannya tersebut. Karena seorang murid itu harus bisa mahabbah (cinta) yang
sungguh-sungguh dengan guru mursyidnya.
B. Kriteria dan Adab Murid
Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang
murid dengan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki kriteria-kriteria
serta adab dan tatakrama seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad
Al-Kamisykhonawy.ra dalam Kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’, yaitu sebagai
berikut ;
1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang syaikh (mursyid),
dia segera mendatanginya seraya berkata: “Aku datang ke hadapan Tuan agar dapat
ma’rifat (mengenal) dengan Allah ta’ala.” Setelah diterima oleh sang mursyid,
hendaknya dia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan kecintaan agar dapat
memperoleh penerimaan di hatinya dengan sempurna.
2. Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam
kepada mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
3. Tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh
mursyidnya, tidak meludah dan membuang ingus di majelisnya dan tidak melakukan
shalat sunnat di hadapannya.
4. Bersegera melakukan apa yang diperintahkan oleh
mursyidnya dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti
sebelum urusannya selesai.
5. Tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap
perbuatan-perbuatan mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta’wilkannya, namun
jika tidak, dia harus mengakui ketidak- fahamannya.
6. Mau mengungkapkan kepada mursyidnya apa-apa yang timbul
di hatinya berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya.
Karena mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal (keadaan) muridnya
dia akan segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakit-penyakitnya.
7. Ash-shidqu (bersungguh-sungguh) didalam pencarian
ma’rifatnya, sehingga segala ujian serta cobaan tidak mempengaruhinya dan
segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya
kecintaan yang jujur kepada mursyidnya melebihi cintanya kepada diri, harta dan
anaknya, seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah (wushul) tidak akan
kesampaian tanpa wasilah (perantaraan) mursyidnya.
8. Tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh
mursyidnya, kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang
mesti diikuti semuanya. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu
sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si
murid adalah racun yang mematikan.
9. Mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh
mursyidnya, berupa dzikir, tawajjuh atau muroqobah. Dan meninggalkan semua
wirid dari yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid
menetapkan tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah.
10. Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan
tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar
dari tanggungan hak-hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus
segala ketergantungannya dari selain Al- Maqshud (Allah).
11. Tidak mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun.
Menghormati clan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya
dengan dzikir yang telah ditalqinkan padanya.
12. Menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun akherat
tidak lain hanyalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Sebab jika tidak
demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan diri pribadinya.
13. Tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun
menurutnya benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan bahwa salahnya mursyid itu
lebih kuat (benar) daripada apa yang benar menurut dirinya. Dan tidak memberi
isyarat (keterangan) jika tidak ditanya.
14. Tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan
orang-orang yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang-orang
kepercayaan mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriah amal ibadah
mereka lebih sedikit dibandingkan amal ibadahnya.
15. Tidak mengadukan hajatnya selain kepada mursyidnya. Jika
dalam keadaan darurat sementara sang mursyid tidak ada, maka hendaklah
menyampaikannya kepada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan serta taqwa.
16. Tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat
menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta
perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan
ghoflah (kealpaan). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang,
hendaknya segera minta maaf kepadanya. Dan hendaknya tidak memandang remeh
kepada siapapun juga.
Sedangkan adab seorang murid secara khusus kepada
mursyidnya antara lain sebagai berikut;
1. Keyakinan seorang murid hendaknya hanya kepada mursyidnya
saja. Artinya dia yakin bahwa segala apa yang diinginkan dan dimaksudkan tidak
akan berhasil kecuali dengan wasilah mursyidnya.
2. Tunduk, pasrah dan ridla dengan segala tindakan
mursyidnya. Dan berkhidmah kepadanya dengan harta dan badannya, karena jauharul
mahabbah (mutiara kecintaan) tidak akan nampak kecuali dengan cara ini, clan
kejujuran serta keikhlasan tidak akan diketahui kecuali dengan ukuran/timbangan
ini.
3. Mengalahkan ikhtiar dirinya terhadap ikhtiar mursyidnya
dalam segala urusan, yang bersifat kulliyah (menyeluruh) atau juz-iyah (bagian-bagian),
yang berupa ibadah ataupun kebiasaan.
4. Meninggalkan jauh-jauh apa-apa yang tidak disenangi
mursyidnya dan membenci apa yang dibenci sang mursyidnya.
5. Tidak mencoba-coba mengungkapkan makna
peristiwa-peristiwa dan mimpi-mimpi, tapi menyerahkannya kepada mursyidnya. Dan
setelah mengungkapkan hal tersebut kepadanya, dia tunggu jawabannya tanpa
tergesa-gesa menuntutnya. Dan kalau ditanya, segera menjawabnya.
6. Memelankan suara ketika berada di majelis sang mursyid,
karena mengeraskan suara di majelis orang-orang besar itu termasuk su’ul adab
(perilaku yang buruk). Dan tidak berpanjang lebar ketika berbicara, memberikan
jawaban atau bertanya padanya. Karena hal tersebut akan dapat menghilangkan
rasa segannya terhadap mursyidnya, yang menjadikannya bisa terhijab (terhalang)
dari kebenaran.
7. Mengetahui waktu-waktu untuk berbicara dengan mursyidnya,
sehingga tidak berbicara dengannya kecuali pada waktu-waktu luangnya dan dengan
sopan, tunduk dan khusyu’ tanpa melebihi batas kebutuhannya, sambil
memperhatikan dengan sungguh-sungguh jawaban jawaban yang diberikannya.
8. Menyembunyikan semua yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya melalui mursyidnya, yang berupa keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa
tertentu ataupun karomah-karomah dan anugerah lainnya.
9. Tidak menukil keterangan-keterangan mursyidnya untuk
disampaikan kepada orang lain, kecuali sebatas apa yang dapat mereka fahami
clan mereka fikirkan.
C. Adab kepada Diri Sendiri
Di samping adab seorang murid kepada guru mursyidnya, ada
hal lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang murid, yakni adab terhadap
dirinya sendiri yang antara lain sebagai berikut;
1. Selalu merasa bahwa dirinya dilihat oleh Allah dalam
segala keadaan, sehingga dirinya dapat tersibukkan oleh lafadh Allah… Allah…,
sekalipun sedang melakukan pekerjaan (duniawi).
2. Mencari teman bergaul yang baik dan tidak bergaul dengan
orang yang buruk perilakunya.
3. Tidak berlebihan didalam hal makan dan berpakaian.
4. Tidak tamak mengharapkan sesuatu yang ada pada orang
lain.
5. Tidak tidur dalam keadaan junub (berhadats besar).
6. Hendaknya suka melanggengkan wudhlu’ (senantiasa dalam
keadaan suci).
7. Menyedikitkan tidur, terlebih dalam waktu sahur (1/3
malam terakhir).
8. Tidak suka mujadalah (berdebat) dalam masalah ilmu,
karena hal itu bisa menyebabkan ghoflah (lalai) kepada Allah dan menjadikan
buta/ gelap hati.
9. Suka duduk-duduk bersama saudaranya (sejama’ah thariqah)
ketika hatinya sedang gundah dan membicarakan adab berthariqah.
10. Tidak suka tertawa terbahak-bahak.
11. Tidak suka membahas perilaku seseorang dan tidak suka
bertengkar.
12. Merasa takut terhadap siksa Allah clan senantiasa
memohon ampunanNya. Dan jangan pernah merasa bahwa amal dan dzikirnya sudah
bagus.
Sumber: dokumenpemudatqn.com
0 comment :
Posting Komentar