Tarekat Alawiyyah atau Tarekat As-Sadah Al-Ba'Alawi (bahasa Arab: طريقة السادة آل باعلوي Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba'alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M).[1] Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut.
(Kota Hadramaut, Yaman) |
Dasar-dasar ajaran
Ajaran tarekat As-Sadah
Al-Ba'Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah
bermazhab As-Syafi'iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka
bermazhab As-Sunni
Al-Asy'ariyyah.
Pengajaran keilmuan berdasarkan
aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba'alawi ialah mengajarkan berbagai
ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan
menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma'had dan rubath tarekat ini,
setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai
dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan
pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai
pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Sekilas tentang Tarekat
Alawiyyah
Tarekat Alawiyyah adalah suatu
tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam
tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada
masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan
keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.[2]
Mereka menerangkan dengan
terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun
oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian
kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan
tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat
ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara
ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui,
bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang
diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan
pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq,
dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang
dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab
serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup
hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal
(antara sesama manusia).
Selain itu, tarekat ini
mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut
ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana
diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat
yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit
dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula
dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah,
mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran,
baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan
penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai
saat ini.[3]
Tarekat Saadah Bani ‘Alawiy
Al-Habib Abdurrahman bin
Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan bagaimana tarekat
Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah cukup didefinisikan
dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah?. Apakah terdapat pertentangan di
antara mereka?. Apakah tarekat mereka bertentangan dengan tarekat-tarekat yang
lain?.” Beliau pun menyampaikan jawabannya sebagai berikut : “Ketahuilah,
sesungguhnya tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi merupakan salah satu tarekat kaum sufi yang asasnya
adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah sidqul iftiqôr
(benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah (menyaksikan bahwa
semuanya merupakan karunia Allah). Tarekat ini mengikuti ittiba’ manshûsh
dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushûl) untuk mempercepat
wushûl. Melihat hal ini, maka tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar
mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum dhohir.
Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah
untuk menyusun aturan yang mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya.
Tidak diragukan bahwa kedudukan manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh
karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi
pusat perhatian kaum khowwash, ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan
ikhlas.
Demikian itulah jalan lurus
(shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup
disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan
secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan
untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan
amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah
Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang
diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari
semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan
fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat
mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl.
Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan
pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang
diberikan Allah, sebagaimana syairku dalam Ar-Rasyafaat.”[4]
Intisari Tarekat ‘Alawiyyah
Kalam Al-Habib Muhammad bin
Husin bin Ali Ba’bud Sesungguhnya asas tarekat para salafunas sholihin dari
Bani Alawy yaitu adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, dan yang menjadi bukti tentang
itu semua adalah perjalanan hidup mereka yang diridhoi oleh Allah dan hal ihwal
mereka yang terpuji. Secara garis besar, tarekat mereka itu adalah sebagai
berikut :
Menjaga waktu-waktu yang
diberikan Allah dan memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada-Nya.
Selalu terikat dan hadir dalam
majlis-majlis ilmu dan majlis yang bersifat dapat mengingatkan diri kepada
Allah.
Berakhlak dengan adab-adab yang
baik, menjauhi ketenaran, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan
menghilangkan semua atribut kecuali atribut kebaikan.
Membiasakan diri dalam membaca
dzikir terutama dzikir-dzikir Nabawiyyah sesuai dengan batas kemampuannya,
seperti amalan-amalan dzikir yang disusun oleh Al-Imam Abdullah bin Alwi
Alhaddad.
Ziarah kepada para ulama dan
auliya baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal, selalu ingin
bermaksud menghadiri perkumpulan-perkumpulan yang penuh dengan dzikir khususnya
yang mengandung unsur mengingatkan diri kepada Allah, dan menghadirinya dengan
penuh rasa husnudz dzon (berbaik sangka), dengan syarat bahwa
perkumpulan-perkumpulan tersebut bebas dari perbuatan-perbuatan mungkar yang
dipandang oleh agama.[5]
Dimanakah para salaf Bani Alawy
berjalan?
Kitab Ar-Risalah Al-Muawanah,
karangan Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad. Di dalam buku tersebut, Al-Habib
Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata : “Hendaklah kamu selalu membaikkan dan
meluruskan aqidah dengan mengikuti kelompok yang selamat, yang dikenal di
antara berbagai kelompok Islam sebagai Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang berpegang
teguh pada teladan Rasulullah serta para Sahabatnya.” Buku Aqidah Ahli Sunnah
Wal Jamaah, yang dibiayai oleh Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf
Gresik untuk disebarkan. Pada cover depan buku tersebut, Al-Habib Abdullah bin
Alwi Alhaddad berkata dalam suatu syairnya yang berbunyi : “Jadikankanlah
Asy’ariyyah sebagai aqidahmu…” (Asy’ariyyah adalah salah satu dari 2 aliran
aqidah dalam Ahli Sunnah wal Jamaah, disamping Maturidiyyah)
Kitab ‘Uquudul Almas, karangan
Al-Habib Alwi bin Thohir Alhaddad Mufti Johor, hal. 89. Di dalam buku tersebut,
Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad berkata : “Hendaklah kamu membentengi
aqidahmu dan memperbaiki pondasinya di atas jalan kelompok yang selamat, yang
dikenal di antara seluruh firqoh-firqoh Islam yaitu kelompok Ahlu Sunnah wal
Jamaah, yang berpegang teguh dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
dan para Sahabat beliau.”
Kitab Majmu’ Kalam Al-Imam
Abdulah bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, karangan Al-Imam Abdulah bin Husin Bin
Thohir Ba’alawy, hal. 105. Di dalam kitab tersebut, Al-Imam Abdulah bin Husin
Bin Thohir Ba’alawy berkata : “Sesungguhnya itulah jalan yang ditempuh
oleh sebagian besar para Tabi’in dengan mengikuti jalan para Sahabat, begitu
juga hal ini diikuti oleh Tabi’ Tabi’in seperti Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Malik, Al-Imam Abu Hanifah, dan juga diikuti oleh
orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka, dan seperti para Saadah kita.
Maka Itulah mereka yang disebut Sawaadhul A’dhom dan golongan yang selamat.
Karena mereka berjalan di atas apa-apa yang telah dijalankan oleh Rasulullah
SAW dan para Sahabat beliau dengan sebaik-baiknya aqidah dan suluk di atas
jalan kebenaran dan petunjuk dengan tanpa mengecam salah seorang pun dari para
Sahabat dan tidak juga mengundat (mencaci/melaknat) mereka…”
kitab Al-’Iqdul Yawaaqit
Al-Jauhariyyah, karangan Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi, juz 1, hal. 28. Di
dalam buku tersebut, Al-Imam Idrus bin Umar Alhabsyi berkata : “…Maka
menjadi sucilah lembah itu (Hadramaut) berkat adanya Al-Fagih Al-Muqoddam.
Beliau senantia sa membangun pondasi ketakwaan di masjid yang ada di lembah
itu, sehingga semakin tampaklah disana aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah…”
Kitab Al-Maslak Al-Qorib,
karangan Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir Ba’alawy, pada bagian akhir. Di
dalam buku tersebut, Al-Imam Thohir bin Husin Bin Thohir Ba’alawy
berkata : “Sesungguhnya tarekat Alawiyah adalah suatu tarekat dari
golongan sufi yang berdasarkan atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
bersumber dari para Sahabat yang mulia, Tabi’in dan para pengikut Tabi’in yang
utama…” (Hal senada di atas juga telah diungkapkan oleh Al-Habib Umar bin
Muhammad Bin Hafidz dalam kitabnya Khulasoh Al-Madad An-Nabawi, hal. 26)
Kitab Tadzkiirun Naas, karangan
Al-Habib Hasan bin Ahmad Al-Atthas, hal. 24. Di dalam buku tersebut, Al-Habib
Hasan bin Ahmad Al-Atthas berkata : “Para salaf kita Alawiyyin mengikuti
madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan
hukum-hukum Islam, masalah ibadah dan muamalah, dan permasalahan-permalasahan
figih.”
Kitab Al-’Alam An-Nibros,
karangan Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, penerbit ‘Isa Al-Khalabi Mesir.
1. Di dalam buku tersebut, hal. 6-8, Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas
berkata : “…Dalam segi akidah, mereka tidak menyimpang walau seujung kaki
semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan bermadzhabkan
Syafi’i…” 2. Di dalam buku tersebut, hal. 10-15, Al-Imam Abdulah bin Alwi
Al-Atthas berkata : “…Mereka itulah yang dikatakan sebagai golongan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang dikategorikan pada golongan yang selamat bersama Nabi
SAW…”
Kitab Maulud Simtud Duror,
Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi, pada bagian syair. Dalam syairnya,
beliau berkata : “Ya Allah, berilah kekuatan pada kami untuk berjalan di
atas jalan yang benar, yaitu di atas jalan Nabi dan jalan yang ditempuh Saadah
Syadziliyyah.” Dalam riwayat lain ditulis dengan : “…dan jalan yang
ditempuh Saadah Alawiyyah.” (Dua-duanya, baik Tarekat Syadziliyyah ataupun
Alawiyyah berada dalam koridor Ahli Sunnah wal Jamaah) Kitab Al-Bidh’ah
Al-Muhammadiyyah, Al-Ustadz Alwi bin Muhammad Bilfagih, hal. 137-140, dalam bab
Madzhab Al-Imam Al-Muhajir.
Di dalam buku tersebut, Ustadz
Alwi menuliskan : “Sungguh teranglah bahwa madzhab Al-Imam Al-Muhajir
adalah madzhab Asy-Syafi’i dan tidak berseberangan dengan jalan yang ditempuh
oleh para datuknya. Menurut sumber-sumber sejarah di masa itu dikatakan bahwa
beliau menganut madzhab Imamiyyah. Akan tetapi menurut sumber-sumber yang lebih
dapat terpercaya, pendapat tersebut tidak dapat diterima. Apalagi ada bukti
yang lebih kuat bahwa putera beliau Abdulloh (terkenal dengan Ubaidillah)
berguru kepada Abu Thalib Al-Makki yang menganut faham Ahli Sunnah. Bagaimana
mungkin Al-Imam Al-Muhajir dikatakan bukan menganut madzhab Asy-Syafi’i,
padahal beliau adalah orang pertama yang menyebarkan atau memasukkan madzhab
Syafi’i ke Hadramaut setibanya beliau disana.”
Menyingkap sifat-sifat aimmah
Tarekat Alawiyyah
Kalam Al-Imam Abdullah bin Alwi
Al-Atthas Mereka salafunas sholeh lebih cenderung kepada merendahkan diri
dengan hidup sederhana dan mereka puas dengan hal itu, padahal mereka adalah
para aimmah (pemimpin) keluarga Bani Alawy. Mereka sebagai pemimpin tarekat ini
lebih menyukai untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kepentingan orang
lain sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak.
Telah berkata salah seorang
ulama dari salafunas sholeh tentang keluarga Bani Alawy, “Banyak dari mereka
yang menjadi ulama-ulama besar dan iImam sebagai panutan umat di zamannya.
Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang kita kenal sebagai seorang Wali
Allah yang mempunyai karomah. Hati mereka itu tenggelam dalam lembah cinta
kepada Allah SWT. Disamping itu mereka mempunyai perhatian yang besar sekali
terhadap kitab-kitab karangan Al-Imam Al-Ghazaly, terutama kitab Ihya’,
Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz. Lagipula tidak jarang dari mereka yang
mencapai derajat Al-Huffadz (orang yang banyak menghafal hadits-hadits Nabi
SAW).”
Kalau kita teliti sejarah
mereka, setiap orang dari aslafunas sholihin berkhidmat kepada orang-orang,
makan bersama orang-orang miskin dan anak-anak yatim piatu. Bahkan mereka
memikul hajat orang-orang miskin dari pasar, berjabat tangan kepada orang yang
kaya dan yang miskin, para pejabat dan rakyat jelata. Oleh karenanya, berkata
Al-Imam Abdullah bin Alwi Alhaddad, “Barang siapa yang melihat salah seorang
dari mereka, begitu menatap pandangannya kepada mereka, pasti akan merasa kagum
akan keanggunan budi pekerti mereka.” Telah diuraikan oleh salah seorang ulama
terkenal yaitu Al-Imam Ahmad bin Zain Alhabsyi bahwa dalam diri mereka keluarga
Bani Alawy terdapat ilmu dhohir dan batin.
Dalam segi akidah, mereka tidak
menyimpang walau seujung kaki semut pun dari akidah Asy’ariyyah/Ahlus Sunnah
wal Jamaah dengan bermadzhabkan Syafi’i. Mereka tidak terpengaruh oleh beraneka
ragam bid’ah dan kerawanan lilitan harta duniawi. Itulah sebagian daripada
sifat-sifat aimmah Bani Alawy dan masih banyak lagi sifat-sifat mereka jika
kita mau meninjau jejak mereka dan menyingkap lembaran hidup mereka.[6]
Tanggung jawab para orangtua
‘Alawiyyin
Kalam Al-Imam Abdullah bin Alwi
Al-Atthas:
1. Menjaga putra-putri alawiyyin
khususnya dan para generasi muda umumnya dari sifat-sifat ambisi untuk mencari
pengaruh dan pangkat/kedudukan yang di puja-puji oleh semua orang. Sebagaimana
sikap Nabi SAW terhadap para sahabatnya seakan-akan seperti ayah mereka, beliau
SAW tidak takut akan kemiskinan yang bersifat duniawi yang akan menimpa mereka.
Telah berkata Ath-Thiby ra., “Seorang ayah yang materialis (cinta kepada
harta-harta duniawi) khawatir apabila anaknya ditimpa miskin harta. Sedangkan
ayah yang religius (yang kuat pendidikan moral dan agamanya) khawatir apabila
anaknya miskin akan ilmu-ilmu agama.”
Sebagaimana hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan dari Abi Hurairah ra.: “Celakalah penyembah dinar dan dirham serta
penyembah karpet dan selimut. Bila ia diberi, rela dan senang, dan jika tidak
ia diberi, tidak senang (benci).” Telah berkata seorang ulama besar di zamannya
Hamdun Al-Qoshshor, “Jika berkumpul iblis dan bala tentaranya, mereka tidak
gembira pada suatu hal seperti kegembiraan mereka akan tiga perkara
berikut :
Orang mukmin membunuh seorang
mukmin.
Orang yang mati di atas
kekafiran.
Orang yang hatinya ada rasa
takut kepada kemiskinan harta.
2. Menjaga putra-putri
‘Alawiyyin dari akidah-akidah yang bejat dan rusak serta melarang mereka untuk
memperbincangkan apa-apa yang terjadi di antara para sahabat (rodhiyalloohu
‘anhum ajma’iin). Mereka bahkan mendambakan putra-putrinya untuk berpegang
teguh dengan apa yang ada dalam kitab Ihya’, sebagaimana mereka telah
mengamalkan apa yang ada di dalam kitab tersebut. Sehingga berkata Al-Habib Abdurrahman
Assegaf ra. : “Barang siapa yang tidak menelaah kitab Ihya’, maka tidak
ada pada dirinya rasa malu.”[7]
Anjuran kepada putra-putri
‘Alawiyyin
Mengikuti langkah para leluhur yang sholeh ra leluhur yang saleh dan mulia, kita akan dibimbing kepada jalan
yang penuh petunjuk dari Allah SWT. Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdullah bin
Ahmad Basaudan RA di dalam kitabnya Al-Futuuhah Al-Arsyiah, setelah menyebutkan
beberapa kitab yang terkarang dimana disana disebutkan riwayat hidup para
Saadah. Beliau berkata, “Pintasilah jalan yang penuh cahaya sebagaimana yang
telah dipaparkan dalam kitab Ihya Ulumiddin, supaya anda tergolong dari
orang-orang yang punya rasa malu, dan pintasilah jalan hidayat dengan
mengamalkan apa yang ada di dalam kitab Bidayatul Hidayah.”
Berkata Sayyiduna Al-Imam
Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bin Zein Alhabsyi, “Qodho (ketetapan)
itu tidak dapat dipungkiri, dan syariat harus diikuti tanpa dikurangi dan
ditambahi. Para imam kita keluarga Bani Alawy telah melintasi jalur yang mulus
dan jalan yang lurus. Barangsiapa yang mencari aliran baru untuk dirinya sendiri
atau untuk putra-putrrinya dengan cara tidak menempuh di jalan para
datuk-datuknya yang saleh dan mulia, maka pada akhir umurnya ia akan menemui
kekecewaan dan kebinasaan.” Mereka itulah yang dikatakan sebagai golongan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang dikategorikan pada golongan yang selamat bersama Nabi
SAW. Mereka itulah orang-orang yang bakal mendapat syafaat beliau SAW.
Berkata Sayyiduna Al-Imam
Al-Ahqof As-Sayyid Umar bin Saggaf Assaggaf kepada anaknya, “Aku berpesan
kepadamu, hendaklah kau bersungguh-sungguh mengikuti perjalanan para Salafuna
As-sholeh dari Ahlul Bait An-Nabawy, terlebih-lebih dari keluarga Bani Alawy.
Bersungguh – sungguhlah dan bergiatlah dalam mengikuti perjalanan mereka
niscaya kau akan sukses.”[8]
Referensi
[1]^ المنهج السوي شرح
أصول طريقة السادة آل
باعلوي، تأليف: الحبيب زين
بن سميط، ص 19. Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah
As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, hlm. 19.
[2]^ Penjelasan
di atas dinukil dari buku Qutil Qulub, karya Abul Qosim Al-Qusyairy, dan
dari beberapa kitab lain.
[3]^ Diambil
dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam
Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 1-5, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir.
[4]^ Diambil
dari 'Iqdul Yawaaqiitul Jauhariyyah, Al-Habib Idrus bin Umar AlHabsyi.
[5]^ Diambil
dari Nafaaisul 'Uquud fii Syajaroh Aal Ba'bud, karya Al-Habib Muhammad bin
Husin bin Ali Ba'bud, hal. 15, manuskrip.
[6]^ Diambil
dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal.
6-8, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir.
[7]^ Diambil
dari kitab Al-'Alam An-Nibros, karangan Al-Imam Abdullah bin Alawi
Al-Atthas, hal 15-20.
[8]^ Diambil
dari Al-'Alam An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal.
10-15, penerbit 'Isa Al-Khalabi Mesir.
SUMBER: id.wikipedia.org
0 comment :
Posting Komentar