A. PENDAHULUAN
Tarekat menurut pandangan para ulama’ Muthasawwifin, yaitu jalan atau
petunjuk dalam meleksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh
Rosullullah SAW dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta para
tabi’in, Tabi’it tabi’in dan terus bersambung sampai kepada para guru-guru,
ulama’, Kyai-kyai secara bersambung hingga pada masa sekarang ini.[1]
Tarekat adalah suatu cara atau pendakian yang ditempuh oleh para tasawuf
atau kaum mutashawwifin untuk mencapai tujuan. Dalam ilmu tasawuf dikatakan
bahwa syari’at itu merupakan peraturan, tarekat itu merupakan pelaksanaan,
sedangkan hakekat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan yang
terakhir. Tentang pelaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan antara satu dengan
lainnya.[2]
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia
adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di
salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi
menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua,
dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di
dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya
merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang
kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai
Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah
tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah
ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat
Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu
meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).[3]
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah
kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat
Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula
ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah
Malwa (Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil
mengembangkan tarekatnya tersebut. Tidak diketahui apakah perubahan nama dari
Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya
sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India
ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir
hayatnya (1428).[4]
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh
murid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal sebagai
Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan
menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah
Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562),
Keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah,
cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang
penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di
Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang
berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang
luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah,
Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang
tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid
Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja mengajarkan
Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah misalnya
Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan dipopulerkan ke
dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619).
Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk
pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi
(w.1661).[5] Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal,
Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya sebagai
pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal di
wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim
al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf. Telah
ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran
Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila
ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia
adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid
Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat
tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri.
Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan
menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga
kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan
Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang
diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh
Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun
tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin
menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat
Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari
Tanah Arab.[6]
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di
Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu,
terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab
Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat
ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan
tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui
murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya,
di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren
Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi.
Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah
yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul
Khalwati (1629-1699).[7]
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa
dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini,
lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi
setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di antara
berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai
gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas
ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan popular orangJawa.[8]
B. Ajaran Tarekat Syattariyah
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu
pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi
tidak harus melalui tahap fana'. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa
jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang
paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar,
Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar,
terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang
terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia
dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar,
ridla, dzikir, dan musyahadah.
Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan
aspek dzikir di dalam ajarannya.[9] Tiga kelompok yang disebut di atas,
masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi
ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar
melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur'an, melaksanakan
haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan
kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari
kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar
memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para
tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada
Allah SWT.
C. Dzikir Tarekat Syattariyah
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai
pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang
disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini
diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat
selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai
beriku:[10]
Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam
Surat al-Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di
atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah
terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)".
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai
berikut:[11]
Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki
sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong,
pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu
ini: enggan, acuh, pamer, 'ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan.
Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana'ah, belas kasih, lemah lembut,
tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu
kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur,
ridla, dan takut kepada Allah SWT.
Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara',
riyadlah, dan menepati janji.
Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya:
berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam.
Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini
membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni, a) menyebut nama-nama
Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar,
al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan
dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan
c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat
tersebut, seperti al-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir
tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di
atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati
menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai
tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang
bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat
lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang
pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah
seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas,
tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya
kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah
dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat
ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga
kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali
Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk),
murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan
menyempurnakan).
Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani
dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan
haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati;
sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi
hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai;
berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan
penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari
pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar,
dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam,
cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang
sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.[12]
REFERENSI:
[1] Saifulloh
al-Aziz Senali. “Risalah Memahami Ilmu Tasawuf”
[2] Sri Mulyati
”Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[3] Sri Mulyati
”Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[4] Sufin ,tasawuf
Tarekat satariiyah , http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl 24-12-08 jam 13.00
[5] Sufin,2002
,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[6] file:///H:/Tasawuf/mengenali-sattariyah.html
diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[7] Sufin,2002
,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[8] Sufin,2002
,tarekat satariah http://www.sufinews.com/
file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[9] Sri Mulyati
”Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
[10] file:///H:/Tasawuf/mengenali-sattariyah.html
[11] Sufin,2002
,tarekat satariah http://www.sufinews.com/ file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html
diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.
[12] Sri Mulyati
”Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia”
SUMBER: tarekatsattariyah.blogspot.com
0 comment :
Posting Komentar